Mendidik Dengan Hati...

BENARKAH SEKOLAH SEPERTI SEBUAH PENJARA?




Sekolah beratap bintang, berdinding kaca, dan berlantai bumi sudah tidak heran di negeri kita. Siswa yang bersekolah di tempat seperti inipun memang wajar kalau sering mengeluh, berteriak teriak, dan bahkan lari kocar kacir terutama sekali apabila disaat belajar tiba tiba hujan datang mengguyur tanpa kompromi. Tapi jika siswa yang sekolahnya beratap metal, berdinding tembok, dan berlantai porselin berteriak, meronta, dan berontak, tentu ini menjadi lain. Mereka bilang sekolah seperti sebuah penjara. Ekspresi seperti inipun akan dianggap biasa, apabila keluar dari mereka, siswa-siswa yang di sekolah memang kurang berprestasi, nakal, sering bolos, yang boleh jadi dibesarkan dari lingkungan bebas dari keterikatan dan aturan. Namun, persoalannya menjadi lain jika teriakan itu keluar dari seorang anak pendiam, berbakat, berprestasi, dan bahkan berasal dari keluarga pendidik pula. Lalu benarkah sekolah kita saat ini memang sudah seperti ”penjara” bagi mereka?
Beberapa kalimat dari Fadh Jibran dalam Revolusi Sekolah-nya (2006) mungkin dapat menggambarkan kegelisahan perasaan siswa kita saat ini. Mereka bilang, sekolah bagai sebuah penjara. Pelajaran begitu menyiksa. Sekolah telah merampas kebebasan mereka. Katanya sih demi masa depan. Tapi mengapa banyak pelajaran yang didapatkan tak ada hubungannya dengan masa depan mereka dan semua itu susah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka berteriak, ”Kami mual dijejali oleh banyak materi pelajaran. Tujuan kami kesekolahpun bukan lagi untuk mencari ilmu, melainkan mengejar nilai rapor yang tinggi. Yang penting bagi kami adalah hasil akhir bukan suatu proses belajar. Itulah yang bikin kami memiliki hobi baru, ”menyontek”. Kami hanyalah objek. Kami harus menerima apapun yang guru berikan. Kami tidak diberikan kesempatan untuk memilih pelajaran yang kami inginkan”.
Potret buram lain dari sekolah kita juga tercermin dari ungkapan penulis muda Muhammad Izza Ahsin yang merasa sekolah seperti sebuah penjara yang telah memasung dan membelenggunya untuk bebas berekspresi dalam hal kebaikan. ”Banyak diantara kami yang membolos karena tidak betah tinggal di dalam kelas, hanya untuk mendengarkan ceramah guru. Walau ada banyak guru yang baik, namun guru-guru killer pun tak kalah jumlahnya. Guru yang bertingkah bak preman, penjatuh mental anak didik, dan telah membuat kelas menjadi tempat pelecehan. Mereka mengajar dengan gaya konvensional yang hampir seperti praktik pendidikan kaum tertindas” (Dunia Tanpa Sekolah, 2007)
Saya terhenyak memaknai ungkapan seorang Izza Ahsin, terlebih lagi karena pukulannya menghujam mengenai wajah profesi yang sedang saya tekuni saat ini, guru. Adakah guru kita benar seperti yang diungkapkan Izza?
Perasaan gundah yang diungkapkan oleh Pak Mahfud, ayahnda Izza, yang juga seorang guru, mungkin bisa menjadi bahan renungan kita semua. ”Saya merasa sedih ketika guru-guru muda dengan wajah garang yang dibuat-buat, membawa gunting untuk memotong rambut siswa yang kepanjangan. Saya meronta ketika melihat guru menendang kaki siswa karena sepatunya tidak seragam, atau menyelupkannya ke dalam ember penuh air kemudian menyuruh siswa memakai sepatu yang sudah basah kuyup itu kembali. Ini dilakukan hanya untuk sebuah kedisiplinan. Saya lebih meronta ketika melihat seorang guru merendahkan derajat siswanya dengan kata kata yang mencemooh di depan teman-temannya”.
Kita memang tak perlu menjadi berang dengan kenyataan, keterus-terangan, serta keberanian Izzha dan mungkin yang lainnya, yang telah merasakan keterkekangan mereka di balik tembok bangunan yang namanya sekolah, untuk kemudian mengungkapkan kegundahan yang mungkin tidak saja dirasakan oleh Izzha, tapi juga oleh putra putri kita yang selama ini telah terbungkam oleh perasaan takut. Justru kita harus berani mengaca diri, untuk melihat lebih dekat kedalam diri kita semua.
Kita harus dengan besar hati bersedia melakukan perubahan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang bersifat absolute, yang menurut DR Leo Sutrisno, seorang pemikir pembaharuan dan demokrasi dalam sekolah, telah menciptakan kerangka berfikir benar dan salah, sehingga mengajar dianggap sebagai semata-mata sebuah usaha untuk mentrasfer ilmu. Pembelajaran sepertinya adalah sebuah usaha perubahan tingkah laku yang akhirnya menciptakan cara berpikir yang konvergensi dimana hanya ada satu penjelasan yang dianggap benar. Akibatnya, tidak jarang kita menemukan anak-anak kita menjadi tidak kreatif, kehilangan ide-ide cemerlangnya, dan terkukung oleh prinsip hanya ada satu jawaban yang benar, yang diciptakan dari proses latihan mejawab soal soal pilihan berganda atau sejenisnya.
Kita memang harus pelan-pelan berkayuh menjauhi cara pembelajaran yang bersifat otoriter dan dogmatis, kalau mungkin perlu disebut mereformasi diri. Pembelajaran memang harus diciptakan menjadi suasana yang dialogis yang mengedepankan ”learners need”, kebutuhan belajar siswa, ketimbang ”curriculum need”. Dengan demikian akan terlahir suasana interaktif didalam kelas, yang tentu akan menumbuhkan perasaan ”aman” bagi siswa dalam belajar, sehingga akan tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan. Seorang pakar pembelajaran, Steven Krashen, mempercayai bahwa dalam suatu proses pembelajaran tugas seorang guru seharusnya adalah meminimalisasi ”affective filter”, suatu batas penghambat transformasi ”input” kepada pembelajar. Usaha ini dapat dilakukan dengan menciptakan suasana yang ”off defensive”. Apa yang dimaksud dengan ”off defensive” adalah usaha menghilangkan hal-hal yang mendekati kekerasan, pelecehan, dan pencemoohan, seperti menyuruh siswa yang memang belum siap untuk tampil, karena belum mampu, untuk berdiri di depan kelas memberikan penjelasan, sehingga siswa tersebut dapat menjadi cemoohan teman-temannya atau bahkan guru dan dapat berlanjut ke pelecehan pribadinya.
Usaha Pemerintah dengan memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perlu disambut baik. Sebab ”KTSP” telah memberikan suatu ruang gerak serta ruang manuver yang lebih leluasa bagi guru dan pembelajar untuk bernegosiasi dalam menentukan tujuan pembelajaran, materi ajar, serta model pembelajaran yang lebih demokratis, suatu silabus yang mengedepankan ”learners need”. Hanya saja memang fihak-fihak yang bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan pendidikan di daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota, Musyawarah Guru Bidang Studi,dan Kepala Sekolah seyogyanya tidak usah merasa sungkan untuk bersama sama bahu membahu dengan para praktisi dan peneliti yang ada di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di negeri ini, duduk bersama bekerja serius meramu sylabus pendidikan serta model-model pembelajaran yang dekat dengan kehendak pembelajar, dan pasar. Sikap skeptis sebagian orang terhadap KTSP adalah hal yang lumrah, yang timbul akibat pengalaman penerapan kurikulum pendidikan masa lalu. Sikap ini memang perlu segera kita singkirkan, lalu menggantikannya dengan sikap yang positif dan konstruktif. Walau tentu memerlukan suatu proses yang agak memakan waktu, namun kita harus yakin kita bisa dan kita harus memulainya.
Selain itu, guru juga perlu melakukan pembaharuan keilmuan secara terus menerus. Membaca dan menulis adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab melalui dua keterampilan inilah kemampuan pembelajaran kita dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar, tanpa kita perlu meninggalkan pekerjaan, atau menunggu sampai ada giliran dan kesempatan pelatihan atau penataran. Melalui membaca dan menulis kita dapat setiap saat selalu ”tunning” terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kita harus dapat mendidik diri kita sendiri untuk tidak tertinggal dalam inovasi inovasi pendidikan.
Kepala sekolah juga harus membuka diri terhadap pembaharuan sistem manajemen sekolah, dengan memberikan akses yang seluas luasnya kepada masyarakat dan orang tua siswa untuk mengetahui proses pebelajaran anak anak mereka di sekolah.. Para pejabat sekolah harus memperlakukan siswa sebagai penjelajah pengetahuan yang aktif, bukan menciptakan filsafat ”cangkir dan teko”, yang menempatkan guru sebagai pemilik teko yang menuangkan ilmu pengetahuan kedalam cangkir, siswa. Sekolah harus berusaha menyediakan kegiatan kegiatan yang melibatkan siswa dalam masyarakat, dan tidak mengisolasi mereka di dalam kelas bagaikan terpenjara dari dunia nyata.
Sebagai orangtua, kita harus aktif mencari informasi untuk pengembangan pengetahuan pendidikan anak kita. Ulurkan tangan dengan sukarela membantu kemajuan sekolah anak, melalui kerjasama Ikatan Orang Tua Siswa, dan bentuk kerja sama yang lain. Sebab sikap kooperatif dari orang tua akan menjembatani sekolah dan dunia luar, dunia masyarakat.
Sebagai siswa, carilah dan yakinkanlah bahwa apa yang dipelajari di sekolah memang bermamfaat bagi diri Anda. Berilah masukkan kepada guru, dan Kepala Sekolah tentang sesuatu yang bermamfaat bagi perbaikan proses pembelajaran di sekolahmu, dengan cara cara yang santun tanpa meninggalkan budaya kita yang menjujung tinggi martabat orang tua dan guru.
Semua kita memang perlu bahu membahu bekerja keras meramu pendidikan di sekolah agar menjadi lebih baik sehingga tidak ada lagi anak kita yang merasa terpenjara disana. Mudah mudahan ungkapan berikut ini dapat menjadi pendorong terhadap perbaikan sistem pendidikan di sekolah kita. ”Kekuatan datang melalui kerja sama, kemerdekaan melalui pelayanan, dan kebesaran diri melalui kehampaan diri.” (John Heider, The Tao of Leadership)

Tidak ada komentar: