Mendidik Dengan Hati...

PERUBAHAN DIRI

Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum, Kecuali perubahan itu dimulai dari diri sendiri.(Al Quran)

Ramadhan bulan yang penuh berkah dan mulia baru saja pergi meninggalkan kita semua. Ramadhan bukan saja sebagai bulan penuh rahmat dan ampunan. Menurut Jalaluddin Rahkmat seorang pakar komunikasi dari Universitas Pajajaran Bandung, ia juga bagaikan sebuah madrasah ruhani, tempat, dan saat kita menempa diri, mengekang emosi, mempertajam rasa social, meningkatkan spiritual, dan memperbaiki moral. Berlalunya bulan mulia ini seyogyanya membawa implikasi perubahan diri yang nyata. Dengan datangnya satu Syawal dan Idil Fitri, hari kemenangan bagi mereka yang berpuasa, seharusnya telah terjadi perubahan besar dalam diri kita.
Perubahan ini perlu terjadi, sebab jika tidak maka ibadah puasa yang telah kita lakukan sebulan penuh akan hanya merupakan latihan berlapar-lapar dan berhaus-haus, lalu menjadi sia-sia, seperti yang disabdakan baginda Rasullullah, “ Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Perubahan ini memang harus dimulai dari diri kita sendiri, sebab kalau tidak perbaikan kaum yang lebih luas tidak akan pernah terwujud. Olehkarenanya, paling sedikit seharusnya ada lima perubahan diri yang nyata bisa kita lakukan, yaitu perubahan cara pandang dan berfikir, bertindak, berbicara, makan, dan tidur.
Saat ini kita harus menyadari bahwa berfikir secara partial, focus terhadap suatu keahlian tidaklah cukup untuk memecahkan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat yang sangat majemuk seperti sekarang ini. Paradigma, cara pandang manusia terhadap diri, manusia, dan alam semesta juga sudah pelan pelan bergeser, walaupun belum secara menyeluruh. Dalam bidang Fisika baru umpamanya, telah terjadi pergeseran yang memungkinkannya meneropong berbagai fenomena secara holistik, utuh, dan menyeluruh.
Menurut Taufik Pasiak, seorang kandidat Doktor dalam bidang neuropsikologi, dari fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dalam bukunya Brain Management, ada tiga prinsip yang mendasari paradigma fisika baru ini, yaitu interdependensi, diferensiasi, dan pengaturan diri.
Interpendensi mengisyaratkan bahwa semua yang ada di alam semesta ini saling bergantung dan saling terhubung. Benda-benda seperti, bebatuan, tumbuh-tumbuhan, pepohonan, hewan, dan kita manusia semua, dengan cara tertentu baik secara sadar atau tidak sebenarnya saling terhubung satu sama lain. Olehkarenanya, tidak heran bila kita pernah mengalami kejadian dimana kita merasa (ingin) bertemu dengan seorang sahabat lama, dan tak disangka-sangka keesokan harinya kita benar-benar bertemu dengannnya. Diferensiasi mengisyaratkan bahwa terdapat dorongan secara terus menerus setiap komponen alam semesta ini untuk menghasilkan keaneka-ragaman. Itulah sebabnya di dunia ini hampir tidak ada seorang individupun yang identik sama, bahkan pada mereka yang terlahir kembar sekalipun. Kita memang berbeda satu dengan yang lainnya.
Pengaturan diri mengisyaratkan bahwa setiap benda hidup di alam semesta ini memiliki potensi bawaan untuk memepertahankan diri dan melanggengkan kekuasaannya. Ini menandakan betapa pentingya arti menata diri, seperti yang dimaknakan dalam ibadah puasa.
Perubahan berfikir harus dibarengi dengan pembelajaran. Kita harus menjadi lebih arif dan berpengetahuan. Kearifan dan kealiman dapat diperoleh dari membaca, dan bersosialiasi dibarengi dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam rumah tangga, masyarakat, dan pemerintahan. Dengan demikian apabila menjadi orangtua, pemimpin, atau pejabat kita tidak bagaikan “seekor katak di bawah tempurung” yang hanya berkutat dengan kehebatan diri sendiri tanpa peduli dengan kehidupan dunia luar, karena ketertinggalan kereta perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan begitu kencang.
Dalam bertindak juga kita harus berani, bijaksana, adil, saling menghormati dan mencintai, sederhana, serta bermoral. Sebab puasa memang melatih diri kita agar memiliki sifat-sifat ini. Penelitian terhadap keberhasilan idividu maupun kelompok dalam menjalankan suatu organisasi baik bisnis maupun sosial adalah dengan memperaktekkan sifat-sifat tersebut dan tidak menjadikannya sebagai simbolik ritual belaka. Dengan memperaktekkannya kita akan menjadi manusia yang bermamfaat terhadap orang banyak, dan unggul.
Menjaga mulut dalam berbicara sangat dianjurkan. Karna anggota tubuh yang satu ini memang perlu dikendalikan dalam mengolah kata. Semua orang tau makna ungkapan lama,” Karena mulut badan binasa” mulut manusia memang dapat tajam melebihi sebilah pedang. Olehkarenanya, kita harus dapat mengendalikan mulut. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan berbicara seperlunya, dan makan secukupnya. Dalam puasa kita dilatih mengelola dan mengendalikan bicara dan rasa lapar. Jika kita terlatih mengelola rasa lapar, juga terbiasa berhenti mengunyah makanan sebelum rasa kenyang, maka dapat dipastikan kita akan terbiasa pula untuk mengendalikan diri, dan emosi.
Kebiasaan terakhir yang perlu dimanaj adalah tidur. Tidur merupakan suatu kebutuhan setiap orang untuk mendapatkan kembali kebugaran, serta memberikan kesempatan kepada otak untuk melalukan pengarsipan memori sesuai dengan tempatnya. Menurut Taufiq Pasiak, tidur yang baik adalah tidur yang berkwalitas, bukan lamanya waktu kita tertidur. Tidur yang berkwalitas akan meransang otak memproduksi Serotonin, suatu zat yang berperanan penting dalam mengatur rasa kenyamanan tubuh. Kekurangan atau kelebihan zat kimia ini dapat membuat sesorang menjadi cemas, sedih, kurang bergairah, dan kehilangan nafsu. Itulah sebabnya tidur yang berlebihan atau sebaliknya, begadang dapat mempengaruhi produktifitas kerja seseorang.
Seekor Kupu-kupu yang cantik memang terbentuk dari hasil olah diri seekor ulat yang berpuasa dalam kepompongnya selama periode tertentu. Ia berubah dari bentuk yang dapat membuat orang takut menjadi sesuatu yang cantik, indah, dan menawan. Keindahan dari hasil olah jiwa, juga raga kita, selama bulan Ramadhan melalui madrasah ruhani akan teruji memang setelah memasuki bulan Syawal dan menapak bulan bulan bulan yang lain sampai tiba Ramadhan berikutnya. Perubahan satu kaum memang harus dimulai dari perubahan setiap individu dari kaum tersebut. Puasa, syarat-syarat, serta ritual di dalamnya, telah mengajari kita bagaimana melakukan perubahan tersebut secara sempurna. Perubahan diri kearah yang lebih baik memang keharusan. Semoga setelah hari raya ini kita tidak kembali melakukan kekeliruan-kekeliruan yang serupa, karena hanya orang dungulah yang tak mau melakukan perubahan setelah menjalani pendidikan di madrasyah ruhani Ramadhan.

DAHSYATNYA BERBAIK SANGKA

Mengembangkan kebiasaan berbaik sangka menjadi sangat bermamfaat dalam usaha membentuk konsep diri seseorang agar dapat memiliki jati diri yang positif. Sebaliknya, kita diajarkan untuk tidak berburuk sangka. Karena kebiasaan tersebut dapat mengakibatkan perasaan yang tidak bahagia yang berkepanjangan(Khalil A. Khavari, The Art of Happiness, 2006). Selain itu, prasangka buruk selalu berteman akrab dengan perasaan negatif.
Mengapa kita perlu selalu berbaik sangka. Alasannya karena berbaik sangka akan membentuk konsep diri yang positif. Apa sebenarnya konsep diri? Mengapa konsep diri menjadi sangat penting, dan bagaimana proses pembentukan konsep diri itu berlangsung?
Dalam kehidupan seorang individu, bentuk konsep diri yang dimilikinya sangatlah menentukan keberhasilannya dalam pembelajaran hidup, suatu proses pembelajaran yang tak pernah putus yang berlangsung sepanjang hayat. Menurut Adi W Gunawan, seorang praktisi accelerated learning, konsep diri adalah kunci pembuka harta karun potensi diri.(Genious Learning Strategy, 2006). Apa sebenarnya konsep diri itu? Untuk memahami arti konsep diri memang diperlukan suatu analogi yang sesuai. Adi Gunawan menggunakan analogi konsep diri bagaikan sistem operasi sebuah komputer. Sekarang ini Window Vista adalah sebuah system operasi yang digunakan untuk menggerakkan sebuah leap-top seri Acer terbaru dengan prosessor Duocore. Komputer ini tidak akan bekerja dengan maksimal apabila dioperasikan dengan menggunakan sebuah system operasi yang sudah tua seperti MS DOS versi 3.0. Komputer bahkan mungkin malah akan mogok kerja, mandek, dan tidak bisa dioperasikan sama sekali.
Konsep diri hampir mirip dengan system operasi yang ada pada komputer tersebut. Hanya saja konsep diri adalah suatu system operasi yang kita ciptakan sendiri melalui proses pengasuhan dan pendidikan serta pembelajaran yang dialami dan dimulai dari masa kanak-kanak. Konsep diri yang ada pada diri kita berfungsi untuk menjalankan perangkat komputer yang super canggih “neck-top” (meminjam istilah Adi Gunawan), suatu jaringan mental yang terletak diantara kedua telinga kita. Seperti sistem operasi sebuah komputer yang selalu diupgrade dan disesuaikan dengan perangkat yang akan dioperasikan, konsep diri yang kita miliki memang menjalani proses pembaharuan setiap saat secara alami.
Bagaimana konsep diri kita terbentuk? Banyak orang yang menganggap dan mengira bahwa konsep diri terbentuk hanya melalui pendidikan formal. Padahal konsep diri kita sebenarnya dibentuk jauh sebelum seseorang mengenyam pendidikan formal, yaitu di masa-masa pengasuhan yang dimulai saat seseorang masih bayi lagi. Pengalaman yang diperoleh oleh seorang bayi di masa pengasuhan melalui interaksi dengan ibu, keluarga dan lingkungan akan mejadi dasar konsep diri seseorang. Konsep diri ini kemudian diperkuat melalui pengalaman hidup yang diperoleh dan dialami setiap hari hingga usia dewasa.
Misalkan saja konsep diri bagaikan sebuah kursi, sebuah tempat duduk yang paling sedikit berkaki empat. Ketika seorang bayi dilahirkan, dia telah memiliki konsep diri yang masih sangat sederhana, bagaikan sebuah bakal kursi yang belum memiliki kaki, yang hanya berbentuk selembar daun kursi, karena kaki-kaki kursi tersebut memang belum terpasang. Pelan tapi pasti, kejadian yang dialami bersama ibu, pengasuh, keluarga, guru, dan lingkungan akan membentuk kaki-kaki pada kursi konsep diri anak tersebut. Lalu seberapa kokoh konsep diri anak akan sangat tergantung pada emosi yang dialaminya ketika kaki-kaki kosep diri itu ditancapkan, serta seberapa sering pengulangan penanaman konsep diri ini dialami oleh anak. Apabila penanaman konsep diri ini benar, maka jadilah dia bak sebuah kursi yang kokoh. Sebaliknya, dia akan rapuh, keropos, dan mudah ambruk apabila kita keliru dalam menanamkan konsep diri.
Berbaik sangka adalah salah satu proses dari penanaman konsep diri secara benar, baik kepada diri sendiri, anak-anak, serta orang di sekitar kita. Kalau yang kita inginkan adalah seorang anak cerdas, maka sejak dini kita harus selalu berprasangka baik bahwa anak kita memang cerdas, dan cemerlang. Dengan demikian perkataan-perkataan positif, pujian, dan sanjungan, seperti “ engkau ini memang anak cerdas”, “anak pintar” merupakan pupuk yang sehat untuk menumbuhkan suburkan konsep diri positif pada diri mereka. Itulah sebabnya mengapa dianjurkan agar sejak dini selalu berbaik sangka dan sering mendorong anak-anak dengan perkataan positif “ engkau bisa nak”, “ engkau mampu”, “engkau akan berhasil”. Ini dimaksudkan agar kelak dalam perjalanan hidupnya, anak menjadi diri yang mampu, bisa, dan berhasil mengatasi permasalahan kehidupan secara mandiri. Sebaliknya, apabila kita sering berburuk sangka kemudian sering mengatakan hal-hal yang negatif, hal-hal yang dapat merusak dan melemahkan konsep diri mereka, ini sama saja secara perlahan namun pasti kita sedang membentuk konsep diri yang rapuh.
Dalam sebuah seminar bagaimana melejitkan potensi anak sejak dini di Pontianak beberapa bulan yang lalu, Ibu Septi Wulandari, seorang pakar joyful learning yang terkenal dengan pendidikan “Jarimatikanya”, mengisahkan, bahwa suatu hari beliau menghadiri acara wisuda sarjana baru di ITB. Dalam kesempatan itu diumumkan wisudawan termuda, tercepat dan tertinggi IPK nya. Ternyata wisudawan muda yang berbahagia tersebut adalah anak keluarga petani dari sebuah desa di Jawa Tengah. Begitu acara selesai, buru buru beliau menghampiri sang Ibu yang tampak sederhana dan bersahaja, lalu menanyakan apa resep beliau sehingga dapat menghantarkan putra tercinta meraih tiga prestasi tersanjung dan membanggakan tersebut. Sang ibu bertutur, bahwa ketika putra beliau masih kecil, sebagai orang desa beliau tak pernah lupa setiap menjelang tidur, selalu mengeloni anak tercinta, menghantarkannya dengan doa sederhana “sing jadi anak pintar yo nak” sambil mengusap lembut ubun-ubun sang putra.
Ucapan sederhana ini memang menjadi begitu dahsyat, karena diucapkan dengan tulus, ikhlas, dan penuh kasih sayang oleh seorang ibu. Ucapan tersebut menjadi doa. Karena secara konsisten diucapkan menjelang tidur, ia kemudian mengendap pada alam bawah sadar sang putra dan membangun konsep dirinya yang kokoh untuk menjadi anak yang cemerlang. Konsep diri ini memang terbukti menghantarkan putra tercinta menjadi wisudawan yang mendapat sanjungan.
Lalu apabila sudah terlanjur, masih bisakah konsep diri yang sudah katon terbentuk pada diri kita diprogram ulang? Semuanya tergantung kita. Kita harus punya alasan kuat mengapa harus berubah. Kita sendiri yang harus berkuat serta berkeras hati untuk melakukan perubahan. Kita yakin memang kita akan berubah. Perubahan itu harus dilakukan setiap saat secara konsisten.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa dalam sehari kita paling banyak bicara dengan diri sendiri (self-talk). Dan berbicara kepada diri sendiri ini lebih banyak mengenai hal hal yang negatif yang melemahkan konsep diri. Nah, mulailah selalu berbaik sangka kepada diri sendiri. Bicaralah kepada diri sendiri bahwa kita bisa, kita mampu. Bayangkan bahwa kita adalah diri yang sukses. Lakukan pembentukan dan format ulang konsep diri ini secara berulang-ulang setiap hari. Makin sering makin baik. Libatkan emosi agar hasilnya lebih maksimal. Ingat kejadian kejadian yang membuat kita bahagia karena sebuah keberhasilan. Ikutkan perasaan bahagia tersebut setiap kita memformat ulang konsep diri. Kita harus yakin bahwa kita memang akan berhasil. Jangan lupa, lakukanlah dengan sungguh sungguh dan ikhlas. Tutuplah dengan permohonan kepadaNya. Begitu dahsyat pengaruh berbaik sangka terhadap kepercayaan diri. Semoga