Mendidik Dengan Hati...

BENARKAH SEKOLAH SEPERTI SEBUAH PENJARA?




Sekolah beratap bintang, berdinding kaca, dan berlantai bumi sudah tidak heran di negeri kita. Siswa yang bersekolah di tempat seperti inipun memang wajar kalau sering mengeluh, berteriak teriak, dan bahkan lari kocar kacir terutama sekali apabila disaat belajar tiba tiba hujan datang mengguyur tanpa kompromi. Tapi jika siswa yang sekolahnya beratap metal, berdinding tembok, dan berlantai porselin berteriak, meronta, dan berontak, tentu ini menjadi lain. Mereka bilang sekolah seperti sebuah penjara. Ekspresi seperti inipun akan dianggap biasa, apabila keluar dari mereka, siswa-siswa yang di sekolah memang kurang berprestasi, nakal, sering bolos, yang boleh jadi dibesarkan dari lingkungan bebas dari keterikatan dan aturan. Namun, persoalannya menjadi lain jika teriakan itu keluar dari seorang anak pendiam, berbakat, berprestasi, dan bahkan berasal dari keluarga pendidik pula. Lalu benarkah sekolah kita saat ini memang sudah seperti ”penjara” bagi mereka?
Beberapa kalimat dari Fadh Jibran dalam Revolusi Sekolah-nya (2006) mungkin dapat menggambarkan kegelisahan perasaan siswa kita saat ini. Mereka bilang, sekolah bagai sebuah penjara. Pelajaran begitu menyiksa. Sekolah telah merampas kebebasan mereka. Katanya sih demi masa depan. Tapi mengapa banyak pelajaran yang didapatkan tak ada hubungannya dengan masa depan mereka dan semua itu susah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka berteriak, ”Kami mual dijejali oleh banyak materi pelajaran. Tujuan kami kesekolahpun bukan lagi untuk mencari ilmu, melainkan mengejar nilai rapor yang tinggi. Yang penting bagi kami adalah hasil akhir bukan suatu proses belajar. Itulah yang bikin kami memiliki hobi baru, ”menyontek”. Kami hanyalah objek. Kami harus menerima apapun yang guru berikan. Kami tidak diberikan kesempatan untuk memilih pelajaran yang kami inginkan”.
Potret buram lain dari sekolah kita juga tercermin dari ungkapan penulis muda Muhammad Izza Ahsin yang merasa sekolah seperti sebuah penjara yang telah memasung dan membelenggunya untuk bebas berekspresi dalam hal kebaikan. ”Banyak diantara kami yang membolos karena tidak betah tinggal di dalam kelas, hanya untuk mendengarkan ceramah guru. Walau ada banyak guru yang baik, namun guru-guru killer pun tak kalah jumlahnya. Guru yang bertingkah bak preman, penjatuh mental anak didik, dan telah membuat kelas menjadi tempat pelecehan. Mereka mengajar dengan gaya konvensional yang hampir seperti praktik pendidikan kaum tertindas” (Dunia Tanpa Sekolah, 2007)
Saya terhenyak memaknai ungkapan seorang Izza Ahsin, terlebih lagi karena pukulannya menghujam mengenai wajah profesi yang sedang saya tekuni saat ini, guru. Adakah guru kita benar seperti yang diungkapkan Izza?
Perasaan gundah yang diungkapkan oleh Pak Mahfud, ayahnda Izza, yang juga seorang guru, mungkin bisa menjadi bahan renungan kita semua. ”Saya merasa sedih ketika guru-guru muda dengan wajah garang yang dibuat-buat, membawa gunting untuk memotong rambut siswa yang kepanjangan. Saya meronta ketika melihat guru menendang kaki siswa karena sepatunya tidak seragam, atau menyelupkannya ke dalam ember penuh air kemudian menyuruh siswa memakai sepatu yang sudah basah kuyup itu kembali. Ini dilakukan hanya untuk sebuah kedisiplinan. Saya lebih meronta ketika melihat seorang guru merendahkan derajat siswanya dengan kata kata yang mencemooh di depan teman-temannya”.
Kita memang tak perlu menjadi berang dengan kenyataan, keterus-terangan, serta keberanian Izzha dan mungkin yang lainnya, yang telah merasakan keterkekangan mereka di balik tembok bangunan yang namanya sekolah, untuk kemudian mengungkapkan kegundahan yang mungkin tidak saja dirasakan oleh Izzha, tapi juga oleh putra putri kita yang selama ini telah terbungkam oleh perasaan takut. Justru kita harus berani mengaca diri, untuk melihat lebih dekat kedalam diri kita semua.
Kita harus dengan besar hati bersedia melakukan perubahan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang bersifat absolute, yang menurut DR Leo Sutrisno, seorang pemikir pembaharuan dan demokrasi dalam sekolah, telah menciptakan kerangka berfikir benar dan salah, sehingga mengajar dianggap sebagai semata-mata sebuah usaha untuk mentrasfer ilmu. Pembelajaran sepertinya adalah sebuah usaha perubahan tingkah laku yang akhirnya menciptakan cara berpikir yang konvergensi dimana hanya ada satu penjelasan yang dianggap benar. Akibatnya, tidak jarang kita menemukan anak-anak kita menjadi tidak kreatif, kehilangan ide-ide cemerlangnya, dan terkukung oleh prinsip hanya ada satu jawaban yang benar, yang diciptakan dari proses latihan mejawab soal soal pilihan berganda atau sejenisnya.
Kita memang harus pelan-pelan berkayuh menjauhi cara pembelajaran yang bersifat otoriter dan dogmatis, kalau mungkin perlu disebut mereformasi diri. Pembelajaran memang harus diciptakan menjadi suasana yang dialogis yang mengedepankan ”learners need”, kebutuhan belajar siswa, ketimbang ”curriculum need”. Dengan demikian akan terlahir suasana interaktif didalam kelas, yang tentu akan menumbuhkan perasaan ”aman” bagi siswa dalam belajar, sehingga akan tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan. Seorang pakar pembelajaran, Steven Krashen, mempercayai bahwa dalam suatu proses pembelajaran tugas seorang guru seharusnya adalah meminimalisasi ”affective filter”, suatu batas penghambat transformasi ”input” kepada pembelajar. Usaha ini dapat dilakukan dengan menciptakan suasana yang ”off defensive”. Apa yang dimaksud dengan ”off defensive” adalah usaha menghilangkan hal-hal yang mendekati kekerasan, pelecehan, dan pencemoohan, seperti menyuruh siswa yang memang belum siap untuk tampil, karena belum mampu, untuk berdiri di depan kelas memberikan penjelasan, sehingga siswa tersebut dapat menjadi cemoohan teman-temannya atau bahkan guru dan dapat berlanjut ke pelecehan pribadinya.
Usaha Pemerintah dengan memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perlu disambut baik. Sebab ”KTSP” telah memberikan suatu ruang gerak serta ruang manuver yang lebih leluasa bagi guru dan pembelajar untuk bernegosiasi dalam menentukan tujuan pembelajaran, materi ajar, serta model pembelajaran yang lebih demokratis, suatu silabus yang mengedepankan ”learners need”. Hanya saja memang fihak-fihak yang bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan pendidikan di daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota, Musyawarah Guru Bidang Studi,dan Kepala Sekolah seyogyanya tidak usah merasa sungkan untuk bersama sama bahu membahu dengan para praktisi dan peneliti yang ada di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di negeri ini, duduk bersama bekerja serius meramu sylabus pendidikan serta model-model pembelajaran yang dekat dengan kehendak pembelajar, dan pasar. Sikap skeptis sebagian orang terhadap KTSP adalah hal yang lumrah, yang timbul akibat pengalaman penerapan kurikulum pendidikan masa lalu. Sikap ini memang perlu segera kita singkirkan, lalu menggantikannya dengan sikap yang positif dan konstruktif. Walau tentu memerlukan suatu proses yang agak memakan waktu, namun kita harus yakin kita bisa dan kita harus memulainya.
Selain itu, guru juga perlu melakukan pembaharuan keilmuan secara terus menerus. Membaca dan menulis adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab melalui dua keterampilan inilah kemampuan pembelajaran kita dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar, tanpa kita perlu meninggalkan pekerjaan, atau menunggu sampai ada giliran dan kesempatan pelatihan atau penataran. Melalui membaca dan menulis kita dapat setiap saat selalu ”tunning” terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kita harus dapat mendidik diri kita sendiri untuk tidak tertinggal dalam inovasi inovasi pendidikan.
Kepala sekolah juga harus membuka diri terhadap pembaharuan sistem manajemen sekolah, dengan memberikan akses yang seluas luasnya kepada masyarakat dan orang tua siswa untuk mengetahui proses pebelajaran anak anak mereka di sekolah.. Para pejabat sekolah harus memperlakukan siswa sebagai penjelajah pengetahuan yang aktif, bukan menciptakan filsafat ”cangkir dan teko”, yang menempatkan guru sebagai pemilik teko yang menuangkan ilmu pengetahuan kedalam cangkir, siswa. Sekolah harus berusaha menyediakan kegiatan kegiatan yang melibatkan siswa dalam masyarakat, dan tidak mengisolasi mereka di dalam kelas bagaikan terpenjara dari dunia nyata.
Sebagai orangtua, kita harus aktif mencari informasi untuk pengembangan pengetahuan pendidikan anak kita. Ulurkan tangan dengan sukarela membantu kemajuan sekolah anak, melalui kerjasama Ikatan Orang Tua Siswa, dan bentuk kerja sama yang lain. Sebab sikap kooperatif dari orang tua akan menjembatani sekolah dan dunia luar, dunia masyarakat.
Sebagai siswa, carilah dan yakinkanlah bahwa apa yang dipelajari di sekolah memang bermamfaat bagi diri Anda. Berilah masukkan kepada guru, dan Kepala Sekolah tentang sesuatu yang bermamfaat bagi perbaikan proses pembelajaran di sekolahmu, dengan cara cara yang santun tanpa meninggalkan budaya kita yang menjujung tinggi martabat orang tua dan guru.
Semua kita memang perlu bahu membahu bekerja keras meramu pendidikan di sekolah agar menjadi lebih baik sehingga tidak ada lagi anak kita yang merasa terpenjara disana. Mudah mudahan ungkapan berikut ini dapat menjadi pendorong terhadap perbaikan sistem pendidikan di sekolah kita. ”Kekuatan datang melalui kerja sama, kemerdekaan melalui pelayanan, dan kebesaran diri melalui kehampaan diri.” (John Heider, The Tao of Leadership)

Mendidik Menjadi Anak Pintar Haruskah Mahal


Anak menjadi pintar atau cerdas adalah impian setiap orangtua। Haruskah kita mengeluarkan biaya yang banyak untuk menjadikan anak kita cerdas? Mungkin penjelasan ini bisa memberikan jawabannya. Beberapa pakar pendidikan sepakat bahwa kecerdasan seorang anak dibentuk oleh dua hal, yaitu faktor keturunan atau sering disebut genetik dan faktor pelatihan dan pengajaran yang disebut pengasuhan. Hal ini dipertegas oleh William Sears, M.D seorang ahli dalam biang kedokteran anak, yang mengatakan bahwa kecerdasan seseorang memang dibentuk oleh pengalaman maupun keturunan. Namun, menurut beliau dalam bukunya Anak Cerdas, kecerdasan itu sendiri tidak menjamin keberhasilan. Justru yang paling penting adalah apa yang dilakukan anak anak anak dengan kecerdasan yang mereka bawa sejak lahir. Tony Buzan seorang pakar yang bergelut dalam penelitian mengenai perkembangan otak manusia, berkesimpulan bahwa pengasuhan adalah faktor utama yang menentukan berkembang (atau tidak berkembangnya) potensi terpendam yang dimiliki oleh seorang anak. Thomas Amstrong, seorang pemerhati pendidikan dan pembelajaran yang menulis beberapa buku best seller, mengaggap bahwa setiap anak dilahirkan adalah jenius. Anak adalah pembelajar. Kitalah, sebagai oangtua, sekaligus pengasuh yang mempengaruhi pintar tidaknya anak anak kita melalui cara pengasuhan. Oleh karena itu cara yang baik dalam pengasuhan akan sangat mentukan kecerdasan seorang anak. Jika demikian kita perlu menyadari bahwa pekembangan seorang anak menjadi cerdas sangat ditentukan oleh perjalanan bagaimana kita mengasuh anak, membantu perkembangan mereka dari saat saat bayi hingga usia remaja।

Pada Masa Bayi
Bagi Seorang bayi, menurut Thomas Amstrong, setiap pemandangan, rasa, sentuhan, bau, dan suara yang baru memberikan sebuah kesempatan untuk penyelidikan baru. Oleh karena itu, kita harus dapat membantu bayi kita dalam menciptakan suasana yang menyediakan akses seorang bayi untuk mendapatkan nuansa penyelidikannya. Dengan demikian seorang bayi dapat mengembangkan sistem jaringan atau sambungan sel sel saraf pada otak yang disebut ”neuron” di tahun tahun pertama usianya. Ujung ujung neuron neuron ini memiliki jari jari, atau antena peraba yang berusaha menyambung dengan syaraf syaraf lainnya. Sehingga para ahli neurologis percaya bahwa semakin banyak bayi berinteraksi dengan lingkungan, semakin kuat sambungan neourologis yang mampu dikembangkannya.
Tony Buzan memberikan resep khusus yang disebutnya sebagai ”makanan otak”, yaitu Oksigen, Nutrisi, Kasih Sayang, dan Informasi.
Oxigen adalah salah satu bahan bakar fital yang dibutuhkan oleh anak kita sepanjang masa. Para ahli menemukan bahwa ternyata bahan bakar utama yang diperlukan oleh sel sel otak adalah oksigen dan glukosa ( Adi W. Gunamawan, Genius Larning Strategy). Oksigen selain pada udara yang kita hirup, ternyata banyak terdapat pada air yang kita minum.Oleh karena itu disarankan agar dalam perkembangannya anak diberikan minuman air putih yang cukup. Juga disaat saat anak kita belajar, kita harus membiasakan anak mendapatkan cukup air minum sebagai pengganti oksigen yang diserap selama pross pembelajaran.
Anak cerdas pada awal perkembangannya memerlukan gizi yang cerdas pula. William Sears menyebutkan bahwa berbagai studi menyimpulkan semakin banyak pemberian ASI membuat bayi menjadi lebih cerdas. Studi ini juga menyimpulkan bahwa bayi yang diberikan ASI, saat mereka besar menunjukan skor IQ yang lebih tinggi. Dua alasan mengapa ASI adalah makanan bayi cerdas yaitu karena memiliki lemak yang lebih cerdas yang mengandung kandungan DHA Omega-3, zat yang penting untuk megembangkan dan mempertahankan jaringan otak. Selain itu ASI juga mengandung glukosa dan galaktosa, jenis gula cerdas yang secara khusus merupakan zat makanan yang bernilai bagi perkembangan otak.
Selain itu, seorang bayi sangat membutuhkan kasih sayang dalam masa masa perkembangan otaknya. Penelitian menunjukkan bahwa tanpa kasih sayang kita akan mati pelan pelan. Kasih sayang membuat sistem otak dan tubuh membuka diri, berfungsi dengan baik, menerima, melakukan eksplorasi, dan berkembang.
Informasi adalah makanan otak. Otak bayi akan tumbuh dan berkembang sambung menyambung membentuk jaringan yang semakin komplek dengan sambungan sambungan saraf yang telah dimilikinya. Ibu adalah guru pertama, dan pengasuh utama bayi kita. Olehkarena itu pengaruh seorang ibu dalam memasukkan, dan menjawab berbagai pertanyaan serta memberikan informasi kepada anak sangatlah berperan dalam membantu mencerdaskan anak. Bicaralah selalu dengan bayi karena bayi merespon pembicaraan kita. Tataplah matanya, tirukan suaranya, panggil panggil namanya. Gunakan bahasa sederhana. Gerakkanlah tubuh sehingga suasana menjadi hidup. Ajukan pertanyaan, karena ini dapat memancing respon. Berceritralah tentang sesuatu. Bernyanyilah ketika menidurkan, memandikan atau pada kegiatan lain.

Masa Balita
Ketika usia anak melampaui masa perkembangan motoriknya dan sudah mulai berjalan, atau berbicara, anak anak lebih membutuhkan kebebasan untuk mengenal dunia dan mengekspresikan diri। Berikan kesempatan mengekplorasi dunia melalui balok balok susun, mobil mobilan, model dari tanah liat, pasir, dan kegiatan motorik lainnya. Biasakan mengajanya berbicara ketika berada di meja makan. Pada usia ini, selain ibu, ayah juga dapat mulai melakukan perannya yang sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan anak. Ayah dapat secara teratur meyediakan waktu untuk beberapa malam dalam seminggu, membacakan cerita cerita pendek pengantar tidur. Kehangatan bersama ayah, serta intonasi suara ayah dalam membaca akan meningkatkan kemampuan membaca di masa masa mendatang. Berbagai studi menunjukkan anak anak memiliki kompetensi akademis dan sosial yang baik apabila ayah menunjukkan perhatian dan terlibat dalam pembelajaran.

Masa Pra-Sekolah
Pada usia ini anak kita sering memandang dunia dari kaca mata dongengnya। Anak sering bercerita kepada diri sendiri. Orang tua harus benar benar menaruh perhatian terhadap hal hal yang dilakukan anak, dan tidak membuyarkan padangan mereka serta menganggapnya tak masuk akal. Dengan mengakui kebenaran aktifitas dunia ciptaan anak , kita telah menyiapkan dimensi dimensi dari bakat alami anak.

Masa Masa SD
Orangtua perlu mengenali serta menghargai kemampuan dan prestasi anak di masa masa SD। Minat yang timbul pada usia ini sering menjadi landasan karir mereka kelak. Menurut Thomas Amstrong, dengan dorongan lembut yang diberikan oleh orangtua terhadap kemampuan tersebut, anak akan menemukan bakatnya yang tepat.

Masa Remaja
Pada masa ini anak ingin menentukan identitas mereka sendiri।Orang tua perlu mengembangkan kecerdasan anak kita dengan jarak yang tepat, untuk memberikan ruang gerak agar dapat berkembangkan tanpa keluar dari kendali kita.

Kesimpulan dan Saran
Anak memperoleh pengetahuan sebagian besar dari lingkungan terdekatnya। Olehkarena itu kita, orangtua, dan keluarga harus dapat menyediakan atmosfir belajar yang dapat mengembangkan bakat dan talenta anak kita melalui pembelajaran yang aktif, yang dapat membentuk sikap positif dalam diri anak। Rumah adalah sekolah utama dan terpenting bagi anak oleh karenanya :
1. Jadikan rumah sebagai pusat pembelajaran karena pembelajaran sesungguhnya memang terjadi di rumah. Jadikan ruang makan sebagai tempat diskusi, dapur tempat mengukur, menghitung. Ruang keluarga pusat perencanaan, Kamar tidur tempat bermain dan belajar, garasi tempat berkreasi dan bereksperimen
2. Jangan tekan anak untuk belajar Biarkan mereka belajar, dan mengeksplorasi gagasan gagasan baru lewat bermain.
3. Bagikan kehidupan kerja kta dengan mereka. Bawa mereka sekali sekali ketempat kita bekerja.
4. Sebagai orang tua, jangan pernah berhenti belajar, temukan hobi hobi baru, bacalah beragam bacaan setiap hari. Bagilah kegembiraan anda bersama keluarga.

Belajar Saja Kok Takut


”Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”, ini adalah suatu nasehat agar kita memang tak pernah berhenti belajar. Tidak ada kata terlalu tua untuk belajar. Belajar memang tak pernah habis. Colin Rose dan Malcom J. Nicholl dalam bukunya Accelerated Learning for the 21st Century menganjurkan langkah langkah belajar efektif sebagai berikut : pertama kita harus faham dan yakin benar bahwa sesuatu yang akan kita pelajari memang bermanfaat bagi kita, kedua selalu membuat catatan dan peta belajar, lalu maknailah sesuatu yang kita pelajari, setelah itu pacu memori yang kita miliki, kemudian ungkapkan pengetahuan yang telah kita peroleh kepada orang lain, dan terakhir renungkan apa yang telah kita pelajari.
Memahami dan meyakini bahwa sesuatu yang akan kita pelajari memang bermanfaat bagi hidup kita, terutama dalam jangka pendek, sangatlah menentukan keberhasilan belajar. Seseorang yang berhasil dalam mempelajari bahasa Inggris umpamanya, karena pada awalnya dia memang faham dan yakin benar bahwa bahasa Inggris memang sangat diperlukannya dalam kehidupan sehari hari.
Membuat catatan dan peta tentang sesuatu yang telah kita baca, lihat, dan dengar akan sangat membantu kita dalam mempermudah pemahaman dan penyerapan informasi yang kita pelajari. Apabila kita mencatatkan sesuatu yang penting dari yang kita pelajari, ini sama dengan kita telah mencoba mengikatnya kedalam suatu catatan yang lebih sederhana untuk dipelajari sesuai dengan cara kita sendiri, cara yang lebih mudah, dan cara yang lebih kita senangi. Buatlah catatan itu dalam bentuk peta belajar. Tony Buzan, seorang pakar ”peta pemikiran” mengatakan bahwa pemetaan belajar merupakan suatu alat yang membantu otak berpikir secara teratur dan begitu sederhana. Oleh karena itu kita perlu membiasakan mencatatkan sesuatu yang kita baca agar informasi yang diperoleh tidak mudah menguap sesaat setelah kita selesai membaca. Ternyata memang kegiatan membaca dan menulis apabila dilakukan berbarengan akan membantu kita dalam memahami dan mengingat sesuatu yang kita pelajari jauh lebih baik daripada hanya sekedar membaca. Membuat peta sesuatu yang telah dipelajari adalah cara paling mudah untuk memasukkan informasi ke dalam otak, dan sekaligus untuk memunculkannya kembali. Cara ini menurut Tony, adalah cara yang paling efektif dalam membuat catatan, karena cara ini akan benar benar ”memetakan” pikiran kita. Selain itu membuat peta belajar sama dengan membuat gambar. Bukankah kebanyakan kita memang lebih baik dalam mengingat sesuatu dalam bentuk gambar, apalagi gambar gambar berwarna. Memetakan pikiran dapat diawali dengan menuliskan tema pokok di tengah halaman kosongan. Tema tadi dikembangkan dengan memberikan cabang cabang dan ranting ranting. Cabang cabangnya adalah subtema sedangkan ranting rantingnya adalah rincian subtema. Gunakanlah simbol, kata, gambar, dan citra lainnya yang tentu kita fahami. Membaca adalah kegiatan bahasa yang logis dan berurutan yang biasanya dilakukan oleh otak bagian kiri. Sedangkan menggambar adalah kegiatan yang dilakukan oleh otak bagian kanan. Dengan demikian apabila kita belajar melalui membaca, lalu dibarengi dengan memetakan pelajaran tersebut, maka kita sebenarnya telah mencoba memaksimalkan kerja kedua belahan otak kita.
Memaknai yang sesuatu yang kita pelajari berarti kita selalu mengaitkannya dengan pengetahuan dasar yang sudah kita miliki. Cara mengaitkan informasi dapat dilakukan dengan mengaitkan persamaan, perbedaan, melakukan saja, menganalisa lalu menggabungkan, melihat peragaan, atau membuat kesimpulan sendiri. Mencari persamaan bisa dimaknakan mengasosiasikan sesuatu yang kita pelajari dengan sesuatu yang sudah sangat kita kenal. Nama seorang ”Safir Senduk”, untuk mudah diingat bisa diasosiasikan dengan nama batu mulia, safir dan sendok makan. Memperdebatkan sesuatu hal yang kita pelajari akan membekas dalam memori yang dalam. Orang berhasil sering mengatakan ”Just Do It”. Maknanya agar kita harus meraih kesempatan belajar setiap saat, sekarang, tanpa menunda. Selain itu, uraian dan penjabaran atau mengumpulkan dan menggabungkan informasi menjadi bermakna juga usaha mengaitkan informasi. Seperti juga peragaan dan ikut dalam peragaan tersebut. Yang terakhir adalah usaha membuat kesimpulan sendiri.
Setelah langkah langkah di atas, kita perlu memacu memori yang kita miliki. Penelitian menunjukkan bahwa 70 % dari apa yang telah kita pelajari hari ini dapat terlupakan hanya dalam waktu 24 jam. Jadi dalam belajar memang harus ada upaya serius. Caranya, pertama kita harus sadar benar bahwa kita ingin mengingat sesuatu. Ini mungkin yang disebut dengan diniatkan. Katakan kepada diri bahwa anda ingin mengingat. Perintah ini akan dipatuhi oleh otak kita. Kemudian bersikaplah rileks sebelum memulai belajar. Otak kita akan bekerja dengan baik jika kita berada dlm kondisi rileks. Belajarlah pada saat suasana hati senang, maka informasi yang masuk akan mudah diingat. Gunakan berbagai cara dalam mengingat. Buat peta belajar. Kemudian coba buat lagi, kali ini berdasarkan ingatan kita. Perbaiki bagian bagian yang terlewatkan. Cobalah mengingat sesuatu dengan asosiasi suatu hal yang tak lazim, kaitkan sesuatu yang akan diingat dengan hal hal yang aneh, menakjubkan, lucu atau mungkin jorok karena hal hal yang demikian sering mudah diingat.
Ada ungkapan ”lancar kaji karena diulang”. Ini bermakna bahwa dalam belajar kita perlu melatih pengetahuan yang telah kita pelajari. Ungkapkanlah kepada teman, keluarga atau orang lain apa yang telah didapat. Hal ini bisa dilakukan di saat saat santai di rumah di meja makan, bersama keluarga atau mungkin di tempat kerja dengan kolega. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat tulisan. Pada awalnya kita dapat menguji kemampuan dengan menulis pada buku harian. Kemudian kalau sudah lebih baik mungkin dapat menulis pada harian lokal.
Langkah terakhir adalah dengan selalu merenung dan meneliti bagaimana pembelajaran kita berlangsung. Sudahkah cara yang kita pakai berlangsung baik. Apa makna dan pentingnya belajar ini bagi kita, dan teruslah merenung untuk mendapatkan motivasi belajar.
Belajar baru menjadi efisien apabila kita tahu manfaat belajar sehingga dapat termotivasi untuk belajar. Selain itu kita juga harus memiliki rasa percaya diri dan menikmati belajar itu sendiri. Seraplah informasi dengan cara kita sendiri, cara yang paling kita sukai, dengan selalu menuliskan kembali dalam bentuk peta belajar atau ringkasan materi yang telah dibaca, didengar atau dilihat. Carilah makna seutuhnya informasi yang dipelajari melalui pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki. Kemudian jangan lupa membiasakan memacu ingatan dengan mengulang ulang membaca. Dan yang paling penting bicarakan kepada orang lain atau menuliskannya kembali dalam bentuk tulisan yang kita senangi. Kesemua langkah belajar efisien ini tentu harus dimulai dengan niat dan tekad yang kuat, serta kecintaan terhadap belajar. Belajar memang harus kita lakukan sepanjang hayat, tanpa mengenal usia.

BACAKANLAH SEJAK DIA DINI

Saya memiliki seorang tetangga yang tahun ini putranya bernama Andri siap masuk TK, karena memang sudah usianya। Hampir setiap hari sang Ibu sibuk mengantarkan anaknya ke kursus private untuk belajar membaca. Saya agak heran mengapa sang ibu tidak menunggu sampai anaknya masuk sekolah dasar, lalu mempercayakan sekolah yang mengajarkannya membaca. Mungkin sekolah yang diminati sang ibu mensyaratkan anak yang diterima adalah anak yang sudah bisa membaca. Saya memang pernah mendengar kalau untuk dapat diterima di beberapa SD swasta di Pontianak, calon siswa harus sudah bisa membaca. Saya tidak habis pikir mengapa sekolah membuat syarat yang boleh jadi tidak fair bagi sebagian orang tua. Mengapa tidak fair? Bukankah orang tua, dan kita semua mengirimkan anak kita masuk sekolah dasar salah satu alasannya memang karena menginginkan mereka bisa diajari membaca. Lantas mengapa ada sekolah hanya menerima calon siswa yang sudah bisa membaca? Apapun alasannya mungkin kita perlu merenung kembali apakah sudah benar jika kita mengirim anak belajar atau les membaca sebelum usia mereka siap. Lantas bagaimana cara yang baik untuk mengajarkan anak agar memiliki minat baca yang baik.

Memberikan pelajaran membaca pada anak usia pra sekolah tidak sama dengan memperkenalkannya pada membaca. Memberikan pelajaran membaca pada saat usia anak TK, di kala mereka belum siap untuk menerima pelajaran yang diberikan melalui intruksi formal akan sangat membebani mereka secara psikologis. Mereka akan merasa “tertekan”. Sebab, sebenarnya pada usia pra sekolah atau TK, anak kita sebaiknya diberikan kesempatan untuk lebih banyak bermain, dan membangun hubungan social pertemanan. Suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry yang dikutip dari buku Einstein Tak Pernah Menghafal karya Kathy Hirsh Pasek Ph.D dan kawan kawan (2006) menyatakan bahwa anak anak merasa tertekan akibat suatu “inflasi kelas”, tekanan yang diakibatkan oleh padatnya jadwal les, untuk mempelajari suatu keahlian yang biasanya dipelajari di kelas satu namun kini harus dipelajari dikelas yang lebih awal, pada pra sekolah.
David Elkind seorang peniliti berkebangsaan Rusia dalam bukunya The Hurried Child, dikutip dari Right-Brained Children in a Left-Brained World (2005) mengatakan bahwa memaksa anak membaca dini malah dapat mendatangkan efek efek jangka panjang yang merusak prestasi akademik dan antusiasme anak untuk belajar। Memaksa anak mendapatkan pelajaran atau intruksi pada saat usia prasekolah untuk dapat membaca dini tidaklah prinsip untuk menjadi pembaca yang fasih. Membaca dini juga tidak mengindikasikan seseorang akan menjadi profesional di kemudian hari. Penetiliannya menunjukkan bahwa anak anak yang didorong untuk membaca sebelum mereka memiliki kemampuan untuk membaca akan mempengaruhi kemapuan belajar anak saat mereka di usia akil balig. Mereka yang didorong terlalu keras untuk belajar sebelum usianya akan menunjukkan sikap apatis dan menarik diri.

Suatu studi perbandingan yang dilakukan oleh Carlton Washburn di Winnetka, Illinois Amerika Serikat terhadap sekelompok anak anak yang sudah diperkenalkan dengan instruksi membaca formal di kelas satu SD dan membandingkannya dengan mereka yang baru diperkenalkan dengan instruksi membaca di kelas dua। Hasilnya menyimpulkan bahwa anak anak yang memulai belajar membaca pada kelas lebih awal memang menunjukkan keunggulan awal dalam tes membaca. Namun keunggulan tersebut sirna dan tak tampak lagi saat mereka sudah duduk di kelas empat SD. Setelah beberapa tahun ketika mereka duduk di SMP, baru terungkap bahwa anak anak yang diperkenalkan lebih lambat dengan membaca ternyata memiliki keinginan membaca yang lebih baik, spontan dan antusias.

“Ikan sepat ikan gambus”, suatu ungkapan keseharian yang sering kita dengar, yang bermakna semakin cepat kita melakukan sesuatu semakin bagus hasilnya। Ungkapan ini bisa benar bisa juga tidak. Ini berlaku untuk pengajaran keterampilan membaca bagi seorang anak sebelum usianya benar benar siap menerima instruksi formal membaca. Anak pada usia sekolah diakatakan siap menerima pembelajaran membaca formal, karena memang perkembangan otak mereka pada saat itu sudah mencapai kondisi yang mampu untuk menerima pembelajaran formal. Keinginan seorang ibu Andri untuk meleskan anaknya agar dapat membaca sebelum masuk TK seperti diatas dapat dimaklumi karena pengaruh adanya kebanggaan yang dirasakan ibu apabila anaknya dapat membaca disaat masih usia TK dimana kebanyakan teman sebayanya memang belum bisa. Selain itu keinginan untuk dapat diterima di sebuah sekolah yang difavoritkan juga menjadi satu faktor pendorong.

Saya sangat prihatin melihat perkembangan psiklogis Andri putra tetangga saya tadi। Dulu ketika dia belum dileskan sang ibu, Andri nampak ceria dan ramah. Setiap kali saya ketemu, Andri selalu menyapa dan berceloteh tentang ceritra cerita lucunya dengan dibarengi gerai tawa. Setiap pagi dan sore jika cuaca cerah, Andri sibuk dengan sepeda mungilnya hilir mudik di halaman rumah sambil berteriak kecil mengungkapkan kegembiraan dan kenikmatan yang dirasakannya. Kini setelah ada jadwal les, tak ada lagi teriakan Andri memanggil manggil saya. Sepeda mungilnyapun tak pernah terdengar dikayuh keluar rumah. Apakah ini tanda tanda awal dari dirampasnya masa masa bermain dan kesempatan bersosialisi anak, karena cepatnya anak harus menjadi ”pembelajar formal? Lantas apakah ini juga tanda kalau Andri mulai merasa ”tertekan”?

Saya sangat menghargai keinginan ibu Andri agar anaknya dapat membaca dan mungkin memiliki kesenangan membaca sejak usia putranya masih dini lagi. Namun menumbuhkan minat baca tidak berarti harus mengajarinya membaca di usianya yang masih sangat muda itu. Minat baca memang harus dikembangkan sejak dini, sejak anak masih bayi lagi, Ini semua perlu dilakukan agar anak anak kita kelak gemar membaca dan antusias dalam belajar. Caranya bukan dengan menyerahkan anak kita kepada guru les bahasa. Pada usia ini, proses pembelajaran keterampilan membaca yang paling sederhana dapat dimulai oleh ibu atau keluarga dengan membiasakan membacakan teks sedehana, ceritra-ceritra pendek, puisi atau sajak pendek kepada mereka. Biasakan anak anak kita dikelilingi dengan pengalaman membaca. Perkenalkan buku sejak dini, letakkan buku dimana saja anak berada. Jadikan buku sebagai mainan mereka. Perkenalkan buku dengan membacakan isi cerita buku, bacakan ceritra dengan intonasi berubah rubah, dimana saja, digendongan, ditempat tidur, diruang bermain, ruang tamu teras dll. Perlihatkan huruf huruf dengan nama mereka di dalam ceritra yang anda baca. Terus kembangkan keingin tahuan anak dengan permainan bertanya dan menjawab tentang bacaan yang kita bacakan, tentu dengan bahasa yang sederhana bahasa bermain mereka. Bangun kepercayaan diri mereka dengan selalu memberikan pujian. Semoga kiat kiat sederhana ini dapat membantu kita mempersiapkan anak menyongsong usia sekolah mereka dengan kemampuan berbahasa yang baik.

GURU AKTIF CREATIF

Saya membaca hasil penelitian yang dilakukan oleh dua dosen terhadap sejumlah guru sekolah menengah di kota Pontianak. Hasil penelitian ini membuat saya merenung. Guru belum mampu menunjukkan kinerja mengajar dengan baik. Waw, ada apa dengan guru kita? Apakah mereka tidak pandai mengajar? Saya rasa tidak. Mungkin guru hanya belum maksimal menunjukkan kreatifitas dalam mengajar.
Saya mungkin salah seorang yang sependapat kalau seorang guru itu memang perlu aktif dan kreatif. Dunia kita kini sedang mengalami perubahan dahsyat. Ini terjadi boleh jadi karena membanjirnya informasi dari banyak sumber, seperti TV, telepon, dan internet. Oleh karena itu, sebagai guru, kita akan tertinggal informasi tentang perubahan dunia pembelajaran yang begitu pesat, apabila masih bersikap menunggu tanpa menjadi aktif dan kreatif mencari tahu dan berusaha mengembangkan teknik teknik pembelajaran di dalam kelas.
Kini telah terjadi perubahan besar besaran dalam cara orang belajar. Tentunya perubahan pembelajaran ini diakibatkan oleh temuan temuan terakhir dari riset yang serius terhadap fungsi otak, memori, dan psikologi manusia.
Seorang psikolog terkenal pada Universitas Harvard, Howard Gardner telah melakukan penelitian intensif tentang kecerdasan manusia. Penelitiannya telah merubah anggapan tentang kecerdasan tunggal kita selama ini. Beliau menyimpulkan paling tidak ada delapan kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kedelapan kecerdasan ini mencakup kecerdasan verbal, numeris/logis, teknis, sensual kinestetis, kreatif, personal, dan sosial. Howard menyebutnya sebagai kecerdasan yang sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam hidup. Seorang siswa dapat memiliki salah satu dari kedelapan kecerdasan gabungan, kecuali dia yang memiliki cacat otak secara fisik. Teori yang kemudian disebut sebagai ”kecerdasan majemuk” ini mengisyaratkan bahwa seseorang, termasuk kita, dapat melakukan paling sedikit delapan cara pembelajaran berbeda. Dengan adanya temuan psikolog terbaru ini, maka kita sebagai guru dan orang tua sudah selayaknya mulai memandang siswa, anak didik kita dalam kacamata yang positif. Karena apabila kita merujuk pada teori ini, maka sebenarnya tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak, paling sedikit memiliki satu kecerdasan yang menonjol. Hanya kita kadang kadang tidak dapat dengan jeli, dan sabar memperhatikan kecerdasan tertentu yang dimiliki oleh anak kita. Sehingga seringkali kita menganggap hanya seseorang yang nilai matematika baik, atau yang hafalannya bagus itulah anak yang cerdas. Padahal tidak jarang orang yang saat bersekolah tidak menonjol dalam mata pelajaran Matematika atau biasa saja dalam pelajaran Sejarah, justru berhasil dalam hidup.
Saya kemudian teringat pada suatu kejadian beberapa tahun yang lalu. Saya mempunyai kolega bisnis jual beli mobil yang cukup sukses. Suatu hari kami mengatur transaksi penjualan mobil kepada salah seorang rekan saya lain, seorang guru sekolah menengah di daerah pesisir kabupaten Pontianak. Ternyata rekan saya yang berminat membeli mobil tadi adalah mantan guru teman saya, penjual mobil. Singkat cerita, setelah selesai transaksi, teman saya yang guru bercerita bahwa penjual mobil tadi, saat menjadi murid beliau bukanlah seorang siswa cemerlang bahkan tidak menunjukkan hal hal yang menonjol, kecuali kebiasaannya yang suka menolong. Beliau justru sangat terkesan setelah tahu mantan siswanya sekarang telah menjadi pebisnis yang sukses. Ini mungkin salah satu kecerdasan yang dimaksud Howard, kecerdasan sosial, yaitu kemampuan yang baik dalam bernegosiasi yang dimiliki teman saya tadi yang telah menghantarkannya menjadi pembisnis yang berhasil.
Saat ini telah terjadi perkembangan cara belajar yang disebut dengan ”Accelerated Learning”. Pembelajaran cepat, ini memang menakjubkan. Ternyata hasil pembelajaran dengan mengaktifkan ”kemampuan diri” secara maksimal dapat menghasilkan capaian berlipat lipat dari luaran proses pembelajaran tradisional, yang lebih sering menuntut siswa menghafalkan teks.
Seorang kolega saya, Dr. Wasi’an dari Lembaga Penjamin Mutu Untan, beberapa waktu lalu mengulas masalah pendidikan di negri ini dan membandingkannya dengan Finlandia, sebuah negara kecil di Eropah. Menurut beliau hasil riset terkini yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset independen dunia, telah menempatkan Finlandia sebagai suatu negara yang memiliki sistem pendidikan urutan terbaik di dunia. Salah satu hal yang menempatkan negeri ini pada posisi teratas tersebut karena guru guru di negara Finlandia lebih menekankan pembelajaran dengan menciptakan suasana kreatif di kelas. Mereka beranggapan, seorang guru memang harus diberikan keleluasaan untuk mengembangkan silabus dan materi ajar secara mandiri, sehingga mereka dapat lebih leluasa berkreasi untuk menciptakan silabus dan materi ajar sesuai yang dibutuhkan oleh siswa dan pasar sebagai pemamfaat lulusan. Intinya seorang guru harus dapat mengajar suatu ilmu serta mamfaatnya dalam kehidupan ini dengan cara yang mudah, menarik dan kreatif mengacu kepada kecerdasan majemuk siswa. . Bukan malah membebani siswa dengan teks teks panjang yang harus dihafalkan.
Di Singapura, bahkan di Malaysia tetangga kita, belajar dengan model menghafal memang sudah lama ditinggalkan. Sebab belajar dengan model menghafal, siswa tidak akan memperoleh banyak. Isi dan gizi dari pengetahuan itu sendiri baru bisa kita miliki dan nikmati melalui proses pembelajaran yang lebih intent, terus menerus sambil melakukan praktek dan percobaan percobaan.
Accelerated Learning, bukan berarti belajar lebih cepat, tetapi adalah belajar dengan memaksimalkan effisiensi otak dengan menggunakan bakat alami kita, ini yang dikatakan Thomas L. Madden (2002) dalam buku terbarunya FIRE-UP Your Learning. Sebagai guru kita memang harus mau merubah cara pembelajaran kita. Kita harus memulainya dari sekarang, dari hal yang paling sederhana dan dari diri kita sendiri. Kita harus bangun dari keterlenaan menggunakan cara cara tadisional dalam mengajar. Kita memang harus bangkit dan segera mengejar ketertinggalan kita selama ini. Kalau orang di luar sana sudah melakukan percepatan pembelajaran dengan accelerated learningnya, kenapa kita tidak mencobanya?