Mendidik Dengan Hati...

BANGKIT ATAU BANGKRUT

Ketika Pemerintah menyatakan peningkatan alokasi dana untuk bidang pendidikan mencapai dua puluh persen dari keseluruhan alokasi APBN tahun ini, semua pihak, terutama sekali insan pendidikan- dari guru, dosen, siswa sampai mahasiswa- merasa lega dan menyambut dengan suka cita keputusan ini. Namun, kegembiraan ini tidak begitu lama karena ternyata kenaikan persentasi tersebut termasuk anggaran untuk pembayaran gaji guru dan pendidik lainnya. Banyak guru, dosen, mahasiswa juga kita semua merasa kecewa, bahkan lantas ada yang berdemo dan protes.

Ada pihak menilai kalau mutu pendidikan kita masih di bawah tetangga kita Malaysia. Bahkan ada yang beranggapan masih dibawah Pilipina. Banyak yang menuding minimnya anggaran pendidikan sebagai salah satu penyebab utamanya. Jadi masuk akal juga apabila mereka yang beranggapan demikian bersikeras kalau pendidikan memang harus mahal. Pendidikan perlu biaya banyak. Tak urung para pejabat dari tingkat Kabupaten, Kota, sampai Propinsi lantas merasa perlu ikut mendorong –entah karena memang untuk kepentingan dunia pendidikan atau untuk kepentingan pribadi dan kepentingan-kepentingan lainnya- agar dana pendidikan dapat di anggarkan sebesar presentasi diatas. Komitment inipun disambut baik oleh semua pihak termasuk para pakar dan praktisi. Lantas benarkah keberhasilan pendidikan kita memang sangat bergantung kepada banyaknya pulus yang tersedia?

Sebenarnya, ada hal-hal lain yang tak kalah pentingnya sebagai penentu keberhasilan tersebut, yaitu paradigma kita, serta anggapan masyarakat terhadap pendidikan.

Dunia pendidikan di negeri ini masih sebagian besar berkiblat pada paradigma lama. Walau sekolah sudah dianjurkan menggunakan kurikulum yang dirancang berdasarkan kebutuhan siswa sekolah masing-masing serta kemapuan sekolah itu sendiri, masih ada saja sekolah yang “keenakkan” dengan kurikulum “orang lain” dan tak berani mencoba membuat sendiri. Sedihnya lagi, jumlah sekolah yang terkatagori seperti ini, persentasinya justru lebih banyak.

Kita tidak bisa menyangkal masih ada pemahaman di masyarakat kalau belajar berarti menghafal. Guru, emak, ayah juga keluarga kita yang lain akan merasa senang apabila melihat anak-anak mereka berusaha bahkan sampai bersusah susah menghafal, dari rumus-rumus matematika, simbol-simbol kimia, tenses bahasa Inggris, sampai jejeran nama pejabat. Maka, tak heranlah ada banyak anak-anak kita menjadi kurang berprestasi di sekolah, di perguruan tinggi, bahkan kurang berhasil ketika memasuki pasar dan kehidupan masyarakat. Mungkin karena kemampuan yang paling banyak diasah ketika mereka bersekolah memang kemampuan menghafal, bukan kemampuan menghadapi kehidupan nyata, kemampuan mencipta, kemampuan mencari yang baru, atau kemampuan berinovasi serta beradaptasi.

Ada beberapa pakar yang melihat kalau apa yang diperoleh anak-anak kita di sekolah kurang bermanfaat. Bahkan ada banyak orang tua-tua di kampung yang beranggapan kalau sekolah tinggi-tinggi pun tidak menjanjikan. Karena akhirnya mereka yang sekolah ke kota, jauh-jauh meninggalkan kampung halaman, ketika selesai lalu mudik , malah kembali ke habitat lama menjadi penoreh getah atau menjadi petani bekerja di ladang. Bahkan tak sedikit yang menjadi pengganggur intelek.

Lantas sebenarnya buat apa kita sekolah? Howard Gardner ( Five Minds for the Future, 2007), seorang pemikir dan pakar bidang pendidikan berpendapat bahwa paling tidak ada dua mamfaat kita bersekolah. Sekolah adalah suatu instrumen untuk menguasai sesuatu. Sekolah juga sebagai sarana untuk mempelajari metode berfikir. Ringkasnya sekolah adalah suatu tempat dimana kita diajarkan untuk menguasai suatu ilmu sebagai sarana mempelajari cara-cara berfikir. Kalau demikian tentulah cara-cara berfikir yang diajarkan seharusnya nyambung dengan realita kehidupan yang ada di masyarakat.

Seyogyanya pula pengajaran, dimulai dari pemikiran sederhana sampai pemikiran yang kompleks yang mengajarkan kemampuan seperti merancang bangun, menghargai dan mencintai seni, serta kemampuan mencari ilmu pengetahuan secara mandiri. Banyak orang sukses dan terkenal karena mereka adalah pembelajar sejati, seorang pemimpi, pencinta seni, seorang entepreuner, penjelajah ilmu pengetahuan yang tak pernah berhenti belajar.

Lalu benarkah keraguan yang diungkapkan para pakar pendidikan kita terhadap manfaat bersekolah yang sudah kita enyam selama ini? Tanyakan saja pada diri kita sendiri. Apa yang sudah kita dapatkan dari bersekolah? Apakah penyelesaian persoalan-persoalan yang kita temui dalam kehidupan keseharian dihasilkan hanya semata-mata dari proses pembelajaran di sekolah dulu? Apabila jawabannya tidak, maka benarlah anggapan sebagian orang bahwa sekolah kita memang belum memberi manfaat banyak.

Saya pikir semua kita, fihak-fihak yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan anak anak kita-dari prasekolah sampai ke perguruan tinggi- harus sadar benar, kita memang perlu berubah. Emak, ayah, guru, dosen, ulama, pastor, kiayi, Ketua RT, Ketua adat, Ketua DPR sampai pejabat tinggi pemerintah, pokoknya semuanya harus meninggalkan kepercayaan bahwa keberhasilan pendidikan seseorang semata-mata ditentukan oleh sekolah. Keberhasilan pendidikan sebenarnya ditentukan oleh semua kita.

Dulu metode menghafal disekolah memang sangat populer. Karena saat itu seseorang memang dituntut harus memiliki memori verbal yang akurat dan besar. Kini, dengan ditemukannya mesin cetak, kalkulator, komputer, handphone, internet dll, kemampuan tersebut telah diambil alih. Kemampuan serta kesanggupan seseorang untuk menemukan sejumlah besar informasi melalui media cetak dan elektronik, dan kemampuan mengorganisasi informasi yang bermanfaat menjadi lebih penting dari masa-masa sebelumnya. Perubahan inilah yang menuntut bentuk-bentuk proses pendidikan yang baru.

Kelonggaran yang telah diberikan pemerintah kepada sekolah-sekolah untuk mengembangkan kurikulum berdasarkan kebutuhan lingkungan sekitar, ditambah dengan peningkatan anggaran pendidikan yang rencananya mencapai dua puluh persen, haruslah dibarengi dengan kesiapan kita semua. Pendidikan seharusnya tidak berusaha semata mata mencetak siswa siswa berprestasi, tapi yang lebih utama adalah sekaligus menghasilkan siswa-siswa budiman yang kreatif, berempati yang berani memiliki mimpi-mimpi yang tinggi.

Olehkarenanya pengajaran ilmu rancang bangun atau mendisain, kemampuan berceritra lisan, berbahasa yang santun sopan dan bermanfaat, keterampilan seni dan olahraga, serta permainan perlu menjadi muatan pokok dalam kurikulum, bukan menjadi muatan pelengkap semata.

Di negeri maju seperti Amerika, salah satu contoh, kurikulum fakultas kedokterannya sedang mengalami perubahan besar. Para mahasiswa dilatih dalam “ilmu kedokteran naratif”. Ternyata keahlian mempelajari anatomi tubuh, berbagai penyakit, dan memilih-milih obat terbaru saja tidak cukup ampuh untuk mengobati seorang pasien. Mereka perlu belajar ilmu mengubah presepsi pasien untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Dan ilmu ini disebut kemampuan bertutur atau bercerita secara lisan untuk meyakinkan pasien. Di Jepang, negeri tersebut sedang mendisain ulang sistem pendidikannya yang memberikan ruang pada perkembangan kreativitas, keterampilan artistik, dan permainan. Bahkan Kementrian Pendidikannya mendorong para nahasiswa untuk merefleksikan makna dan misi kehidupan, serta mendorong apa yang mereka sebut”pendidikan hati”- pendekatan pendidikan yang lebih mengedepankan kemampuan mendisain, keterampilan, dan permainan.

Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, tempat di mana anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar “hidup” sudah saatnya kita kembali memberikan kesempatan kepada mereka membuat karya karya mereka sendiri, menghargai karya mereka, memberikan contoh bernarasi dengan santun, menunjukkan empati, membiasakan permainan serta mencintai seni. Mudah-mudahan suatu saat nanti tidak akan terjadi lagi siswa marah, orang tua protes, dan masyarakat menyalahkan guru, sekolah, atau pemerintah, ketika melihat kenyataan anaknya belum beruntung karena gagal ujian nasional.

Kita harus ingat bahwa anak-anak yang berhasil dan berprestasi dalam masyarakat adalah berkat usaha dan kerja keras semua kita, dari ibu, ayah, pengasuh serta keluarga di rumah, ditambah dengan pembelajaran yang diberikan oleh guru di sekolah, ustadz dan kiayi di pondok, dosen di kampus, sampai tutor di kelompok-kelompok belajar. Keberhasilan kita mendidik anak anak kita dari sejak masa dini sampai mereka hidup mandiri dalam masyarakat adalah hasil kerja kita bersama. Olehkarena itu merubah paradigma pendidikanpun harus dilakukan bersama. Seabad usia kebangkitan nasional bisa menjadi momentum penting memulai merubah paradigma pendidikan untuk bangkit kembali menjadi bangsa yang unggul, berbudi luhur dan saling mencintai. Jangan “terlena” atau malah “mabok” karena keenakan mendapat limpahan pulus seperti “Orang Kaya Baru” yang kebingungan lantas berpoya poya lalu akhirnya bangkrut.

Tidak ada komentar: